Strategi Menekan Inflasi


Perekonomian dunia tengah dilanda ketidakpastian. Hantu inflasi menjadi dampak gangguan pasokan, imbas perang Rusia-Ukraina. Selain, adanya pengetatan kebijakan di sejumlah negara.

Ketidakpastian tengah melanda perekonomian dunia. Tekanan bagi harga pangan dan energi terjadi di pelbagai negara, termasuk Indonesia. Bentuknya adalah inflasi. Benar, sejumlah negara kini dihantui oleh inflasi yang melonjak.

Kenaikan harga komoditas pangan dan energi adalah salah satu penyebabnya. Negara Amerika Serikat misalnya, belum lama ini mengumumkan inflasi yang mencapai 9,1 persen pada Juni 2022.

Selain AS, beberapa negara maju maupun berkembang juga mengalami lonjakan inflasi, bahkan cenderung stagflasi. Misalnya Lebanon sudah mencapai 211,43 persen. Demikian pula Turki yang mencapai 78 persen pada Juni 2022

Hantu inflasi memang telah menjadi ketakutan baru bagi ekonomi negara dunia. Bagaimana dengan Indonesia? Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati pun mengakui tekanan dari harga pangan dan energi cukup berat di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Meski demikian, menurutnya inflasi Indonesia masih terkendali. “Jika melihat inflasi Indonesia bulan lalu, Agustus dari 4,9 persen turun sedikit menjadi 4,6 persen. Inflasi biasanya terjadi pada bulan September,” ungkap Menkeu dalam Bloomberg Recovery and ResilienceSpotlight on ASEAN Business yang diselenggarakan secara hibrida, pada Senin (12/9/2022).

Jika dilihat dari komponennya, Menkeu mengatakan, volatile food merupakan penyumbang inflasi utama. Seperti halnya yang berasal dari gandum dan minyak goreng yang sangat berkorelasi tinggi dengan situasi geopolitik.

“Jadi pertanyaan dari sudut pandang kebijakan, bagaimana kita akan merespons inflasi yang terutama dari gangguan pasokan,” ujar Sri Mulyani.

Bahkan, Menkeu menceritakan, Presiden Jokowi sudah berkali-kali berdiskusi dengan seluruh gubernur dan wali kota agar bisa melihat detail asal terjadinya tekanan harga, terutama untuk harga makanan yang seharusnya bisa dicegah.

BACA JUGA:  Indonesia Tingkatkan Pembangunan PLTS Atap

Kenaikan harga komoditas minyak dunia menjadi alasan pemerintah akhirnya mengambil keputusan yang berat. Melakukan penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) per 3 September 2022. Solar dan pertalite mengalami kenaikan harga rata-rata 30 persen.

Tak dipungkiri, tingginya gap antara harga keekonomian dan harga jual pertalite dan solar akibat harga minyak dunia yang tinggi menjadi alasan pemerintah untuk melakukan penyesuaian terhadap harga BBM bersubsidi. Apalagi, ini kemudian berdampak terhadap kenaikan subsidi dan kompensasi energi.

Beberapa BBM yang mengalami kenaikan adalah harga pertalite dari sebelumnya Rp7.650 per liter kini naik menjadi Rp10.000 per liter. Kemudian, harga solar subsidi dari Rp5.150 per liter naik menjadi Rp6.800 per liter. Selanjutnya, harga pertamax nonsubsidi dari Rp12.500 per liter naik menjadi Rp14.500 per liter.

Berkaitan dengan itu, Menkeu Sri Mulyani mengemukakan, kebijakan ini di satu sisi sedikit melepaskan tekanan pada anggaran subsidi, namun di sisi lain meningkatkan inflasi administered price.

“Jadi kami mencoba untuk memastikan bahwa pertama jika masalah datang dari sisi pasokan, kami akan mengatasi di sisi pasokan,” tandas Menkeu.

Pemerintah sendiri telah membuat prediksi, inflasi berpotensi naik sebesar 1,8 persen sebagai dampak dari pengalihan subsidi harga BBM yang mulai diterapkan sejak 3 September 2022.

Prediksi itu disampaikan Presiden Joko Widodo saat menyampaikan sambutannya pada acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia yang digelar pada di Auditorium Menara Bank Mega, Jakarta, Rabu (7/9/2022).

“Memang momok semua negara sekarang ini urusannya pertumbuhan ekonomi, growth-nya berapa dan inflasinya berapa. Kita juga kemarin berhitung dengan detail berapa sih kira-kira karena penyesuaian subsidi BBM ini yang sudah kita umumkan minggu yang lalu akan berimbas pada inflasi? Hitungan dari menteri-menteri kemarin kira-kira akan naik di 1,8 persen,” ujar Presiden Jokowi.

BACA JUGA:  Pemerintah Gencar Memberantas Judi Online

Untuk itu, Presiden Joko Widodo berharap, peran aktif pemerintah daerah (pemda) dalam menangani kenaikan inflasi dengan memanfaatkan dana alokasi umum (DAU). Selain itu, Kepala Negara juga mengatakan bahwa anggaran belanja tidak terduga juga bisa dimanfaatkan sebagai instrumen untuk mengatasi inflasi.

“Saya enggak mau diam, kita harus intervensi. Intervensinya lewat apa? Saya sampaikan, daerah harus bergerak kayak Covid-19 kemarin. Dengan cara apa ya? Dua persen DAU bisa digunakan untuk mengatasi inflasi dan bansos. Belanja tidak terduga bisa digunakan untuk mengatasi inflasi. Dengan cara apa? Ya tutup biaya transportasi, tutup biaya distribusi dari yang ada di lapangan,” jelasnya.

Pada kesempatan yang sama, Menkeu Sri Mulyani memaparkan, jika Bank Indonesia sebagai otoritas sisi moneter juga menetapkan kebijakan yang mampu mengelola ekspektasi inflasi serta stabilitas rupiah.

Di tengah dolar yang terus menguat, depresiasi Indonesia sekitar 4,5 persen terhitung ringan atau sedang jika dibandingkan dengan banyak negara lain. Hal ini karena kinerja neraca pembayaran Indonesia yang cukup baik.

“Neraca perdagangan telah surplus selama 27 bulan. Jadi kami memiliki lebih banyak ketahanan di sisi eksternal, tetapi kami tahu bahwa situasi global tidak akan mudah,” pungkas Menkeu Sri.

Pil pahit berupa kenaikan harga BBM telah diambil pemerintah untuk mengatasi tingginya gap antara harga keekonomian dan harga jual pertalite dan solar akibat harga minyak dunia yang tinggi. Pemerintah pun sudah menyiapkan anggaran subsidi dan kompensasi BBM senilai Rp502,4 triliun dari anggaran sebelumnya sebesar Rp152,5 triliun.

BACA JUGA:  Indonesia Tingkatkan Pembangunan PLTS Atap

Pemerintah siap menyalurkan bantuan sosial (bansos) kepada masyarakat miskin dan rentan miskin, termasuk nelayan dan driver ojol (ojek online), sebagai antisipasi dari kemungkinan naiknya harga BBM bersubsidi.

Total bansos yang diberikan senilai Rp24,17 triliun yang terdiri dari tiga jenis, yaitu bantuan langsung tunai (BLT) senilai Rp12,4 triliun dengan sasaran 20,65 juta KPM, bantuan subsidi upah (BSU) sebesar Rp9,6 triliun dengan sasaran 16 juta pekerja serta earmark dua persen dari dana trasnfer umum (DTU) yang terdiri dari DAU dana DBH sebesar Rp2,17 triliun untuk bansos sektor transportasi umum.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara juga menyampaikan, bansos untuk sektor transportasi umum akan diarahkan kepada transportasi yang terdampak seperti tukang ojek, angkutan umum, dan nelayan. “Kita mengalokasikan dua persen dari DTU kan duitnya  udah ada di daerah, itu kemudian digunakan untuk memberikan  bantalan subsidi kepada transportasi yang terdampak, misalnya, tukang ojek, pengemudi online, itu silakan desainnya oleh pemerintah daerah,” kata Suahasil di kompleks parlemen, belum lama ini.

Adapun dana yang dialokasikan sebanyak dua persen dari DTU tersebut sudah ada di pemerintah daerah (pemda) dan skemanya akan didesain oleh pemda masing-masing, di mana bansos ditargetkan kepada sektor transportasi umum yang terdampak.

“Jadi daerah yang mendesain sendiri sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. Pokoknya targetnya adalah sektor-sektor transportasi [umum] yan terdampak. Duitnya kan udah di daerah, pokoknya dia pakailah,” ujarnya.

Harapannya, adanya sinergi pemerintah pusat dan daerah bersama-sama mengatasi dampak kenaikan harga BBM yang berujung terjadinya inflasi minimal bisa mengurangi beban yang diderita masyarakat saat ini.

Penulis: Firman Hidranto

Komentar