Review Film: Doctor Strange in the Multiverse of Madness


Sam Raimi berhasil mengeksekusi Doctor Strange in the Multiverse of Madness dengan sentuhan khasnya. Namun, harus diakui sekuel Doctor Strange ini memang ditujukan kepada penggemar berat Marvel Cinematic Universe (MCU).

Hal itu sudah tercium sejak kabar Doctor Strange 2 mengusung konsep multijagat alias multiverse sebagai premis utama cerita. Ambisi membawa konsep lintas semesta ke sebuah film tentu sarat risiko, terutama bagi penonton yang tak selalu mengikuti rilisan MCU.

Sam Raimi pada dasarnya mampu mengemas cerita itu dengan pendekatan yang lebih membumi. Namun, rasanya itu tak cukup untuk menjembatani konsep multiverse dan latar belakang para karakter yang begitu luas dan padat.

Belum lagi dengan munculnya berbagai istilah baru yang patut dipahami. Belum lagi munculnya berbagai referensi dari film hingga serial MCU yang sudah tayang.

Penonton seolah dituntut untuk ‘belajar’ sebelum dan sesudah menyaksikan Doctor Strange 2 agar tetap bisa menikmati film ini secara optimal.

Namun, keputusan Marvel merekrut Sam Raimi sebagai sutradara patut diacungi jempol. Ia menyajikan Doctor Strange 2 tanpa kehilangan sentuhan khasnya.

Penonton Spider-Man versi Raimi tentu akan merasa familier dengan pengambilan gambar di sejumlah adegan Doctor Strange 2. Selain itu, komposisi warna pada beberapa adegan juga mirip seperti trilogi Spider-Man garapan Raimi itu.

Pengalaman Raimi sebagai sutradara film-film horor juga tersalurkan dengan tepat di film ini. Multiverse of Madness beberapa kali disebut bakal mengusung genre horor yang ditunjukkan dengan porsi yang pas.

Sang sutradara membangun nuansa horor dengan cara yang tidak memaksa. Penonton dibuat menahan nafas pada beberapa momen, kemudian dieksekusi dengan scoring musik yang mencekam.

Perjalanan multisemesta Doctor Strange (Benedict Cumberbatch) bersama America Chavez (Xochitl Gomez) itu semakin megah dengan sajian audio visual kelas wahid. Adegan aksi yang ditampilkan begitu apik, terlebih karena Raimi menghadirkan pertarungan sihir dengan pendekatan unik.

Pengalaman menonton semakin memuaskan dengan scoring musik yang mengiringi berbagai adegan. Sekuel Doctor Strange ini punya kualitas scoring yang sama memuaskannya dengan film MCU lain.

Penampilan Benedict Cumberbatch sebagai Doctor Strange juga tak mengecewakan. Tantangan Cumberbatch dalam film ini tentu memerankan Doctor Strange dari berbagai semesta.

Ia berhasil menjawab ekspektasi penonton, meski karakter Doctor Strange di setiap semesta pada dasarnya mempunyai corak yang tak jauh berbeda.

Menariknya, Doctor Strange in the Multiverse of Madness justru menjadi ajang Elizabeth Olsen unjuk gigi sebagai Wanda Maximoff alias Scarlet Witch.

Wanda merupakan salah satu karakter yang mengalami dinamika paling signifikan sejak muncul perdana di Avengers: Age of Ultron (2015).

Sejak trailer Doctor Strange 2 rilis, Wanda ditampilkan sebagai pesakitan yang begitu malang hingga dirinya merasa semesta ini tak adil kepadanya. Berbagai nasib pahit yang dialami Wanda di setiap peristiwa MCU seolah menjadi mesiu yang meledak di Multiverse of Madness.

Modal karakter yang amat kaya itu dieksekusi dengan optimal oleh Olsen. Ia kembali tampil brilian sejak dirinya ramai dipuji saat WandaVision rilis.

Namun, ada beberapa catatan penting yang menjadikan film ini belum bisa menandingi raksasa MCU, seperti Avengers: Endgame (2019) dan Spider-Man: No Way Home (2021).

Doctor Strange in the Multiverse terasa gagal memainkan emosi cerita dengan maksimal. Padahal, film ini punya segalanya: eksekusi brilian, konsep multisemesta ambisius, audio visual dan efek CGI, hingga akting pemeran kelas atas.

Namun, kedekatan emosi yang selama ini menjadi kunci MCU sukses diterima penonton tampaknya gagal terjalin. Pengalaman menonton yang menakjubkan memang dialami selama film diputar, tetapi after taste dari Doctor Strange 2 seperti hambar.

Hal itu barangkali disebabkan oleh akhir cerita yang terasa begitu cepat. Jika studio rela menambah durasi film sedikit lebih panjang, bisa jadi ada kesempatan untuk memainkan emosi setiap karakter secara lebih mendalam.

Marvel juga perlu memahami bahwa menaruh kameo ikonis ke dalam film tidak selamanya berfungsi. Doctor Strange menjadi bukti bahwa kameo ikonis hanya terasa seperti angin lalu jika tidak punya keterikatan dengan cerita utama.

Kemunculan kameo di Doctor Strange justru hanya terasa seperti fan service, atau cara Marvel menjual ‘produk’ yang akan datang.

Tak hanya itu, konsep multiverse dengan berbagai karakter dan istilahnya juga membuat film ini terasa semakin eksklusif. Hal ini patutnya menjadi alarm bagi MCU jika film-film rilisannya masih ingin disaksikan oleh penonton awam.

Sebab pada akhirnya, film-film Marvel Cinematic Universe juga milik penonton awam yang hanya ingin mencari tontonan superhero sebagai hiburan semata, bukan berpikir pusing atas sebab musabab cerita yang tersaji di depan mereka. (*/cnn)

Komentar