Gamagora 7, Varietas Padi Baru Tahan Hama


Varietas padi unggul gamagora 7 dilepas ke publik. Varietas ini cocok ditanam pada lahan sawah maupun tadah hujan. Hasil panen 7,95 ton per hektare dengan umur sekitar 119 hari setelah semai.

Universitas Gadjah Mada (UGM) resmi melepas varietas padi unggul inbrida G7 dengan nama gamagora 7 ke publik. Pelepasan dilakukan setelah varietas itu mengantongi surat keputusan (SK) pelepasan varietas dari Menteri Pertanian RI, pada 28 Maret 2023.

Dalam surat Menteri Pertanian tersebut dijelaskan, padi gamagora 7 memiliki ketahanan terhadap serangan hama wereng batang cokelat biotipe 2. Keunggulan lainnya, memiliki ketahanan terhadap penyakit hawar daun bakteri patotipe III, penyakit blast ras 033, ras 073 dan ras 133 serta cocok ditanam pada lahan sawah maupun tadah hujan.

Benih inbrida adalah benih yang dihasilkan dari penyerbukan sendiri oleh satu galur/varietas. Sifat anakan atau turunannya sama persis dengan sifat induknya

BACA JUGA:  Indonesia Tingkatkan Pembangunan PLTS Atap

Selain itu, padi gamagora 7 ini disebutkan berasal dari hasil mutan rajalele Klaten dari golongan indica. Padi ini memiliki potensi produksi mencapai 9,80 ton per hektare. Sementara itu, rata-rata hasil kurang lebih 7,95 ton per hektare. Sedangkan, umur panen sekitar 119 hari setelah semai.

Taryono dan Supriyanta, anggota tim peneliti, mengaku bersyukur atas pelepasan padi gamagora 7 sebagai varietas baru. Usai sudah penantian panjang mereka sejak 2006, yang dengan tekun melakukan riset pada padi yang tangguh di lahan kering maupun lahan sawah.

Nama gamagora merupakan kependekan dari nama gama gogo rancah yang awalnya diteliti oleh empat orang, namun pada perkembangannya menjadi 10 orang. Dengan diluncurkan padi gamagora 7 ini, berarti sudah ada tiga varietas padi yang pernah dilepas secara resmi oleh UGM.

BACA JUGA:  Pemerintah Gencar Memberantas Judi Online

Padi gamagora 7 merupakan varietas ketiga yang pernah diluncurkan oleh UGM. Taryono bercerita, produk gamagora berasal dari hasil mutan radiasi dari padi induknya, rojolele yang terkenal sebagai padi dengan rasanya yang pulen.

Varietas padi “amphibi” ini menurutnya bisa untuk menyiasati penurunan produksi padi di Indonesia akibat perubahan iklim global, baik karena El Nino dan La Nina dan dampak pengalihan fungsi lahan sawah ke nonsawah yang mencapai 96.512 hektare per tahun.

Sebelumnya, pihaknya sudah melakukan uji multilokasi sebanyak 14 lokasi di seluruh Indonesia. Bahkan, padi ini diuji di delapan lokasi pada lahan sawah dan enam lokasi pada tanah tadah hujan.

Kegiatan uji multilokasi dilakukan untuk mendapatkan izin edar dan izin rilis varietas baru dari Kementerian Pertanian. “Awalnya kita menanam di kebun fakultas. Lalu uji multilokasi di PIAT UGM hingga berbagai tempat,” kata Taryono.

BACA JUGA:  Indonesia Tingkatkan Pembangunan PLTS Atap

Pada 2022, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) berhasil meningkatkan produktivitas padi unggul, srinuk, di lahan tidur seluas tiga hektare Delanggu, Klaten, Jawa Tengah. Dalam pilot project di lahan seluas tiga hektare dan diolah secara organik tersebut dapat menghasilkan 6,8 ton/hektare gabah kering panen.

Pengembangan padi unggul ini dilakukan Fakultas Pertanian UGM bekerja sama dengan Taman Sehat Rejosari (Tasero) Delanggu Klaten, Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Delanggu, Kelompok Tani dan Koperasi Tani Delanggu Klaten. Varietas padi Srinuk memiliki umur panen 95 hari.

Srinuk juga merupakan pengembangan dari padi unggul lokal rojolele khas Delanggu yang telah memiliki reputasi publik sangat baik sebagai padi penghasil beras yang berkualitas tinggi, pulen, wangi, dan bercita rasa sangat enak.

Penulis: Eri Sutrisno

Komentar