Era Emas Budi Daya Udang di Pasar Global


Komoditas udang yang masuk dalam sektor perikanan budi daya mengalami pertumbuhan ekspor secara terus-menerus.

Dengan luas perairan mencapai 6,4 juta km2 dan panjang garis pantai 81.000 km, Indonesia sebagai negara kepulauan bagai memiliki harta karun yang luar biasa, termasuk produk perikanannya.

Dengan potensi lautnya, baik itu dari komoditas perikanan dan sumber daya alam lainnya, wajar saja jika menyebut kepemilikan Indonesia terhadap laut dan isinya sebagai masa depan Indonesia. Menko Kemaritiman dan Investasi (Marinves) Luhut Binsar Pandjaitan, dalam beberapa kesempatan, selalu menekankan bahwa banyak potensi laut Indonesia yang belum digarap dengan optimal.

“Oleh karenanya, saya selalu mendorong perlunya dilakukan pemetaan berkaitan dengan potensi itu. Melalui data yang akurat, kita (Indonesia) bisa mengoptimalkan potensi itu. Tentunya penggalian potensi itu dilakukan dengan penuh tanggung jawab,” ujarnya.

Nah, salah satu komoditas laut Indonesia yang potensial itu adalah produk perikanan, terutama komoditas udang, yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Berkaitan dengan itu, Dirjen Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) TB Haeru Rahayu dalam National Shrimp Action Forum di Jakarta, Rabu (26/10/2022), mengungkapkan ihwal besarnya potensi komoditas itu. Bahkan, nilai ekspor produk perikanan dari tahun ke tahun terus meningkat.

Sepanjang Januari-September 2022, Kementerian KKP mencatat nilai ekspor perikanan mencapai USD4,61 miliar atau setara Rp71,8 triliun. Nilai sebesar itu dengan asumsi kurs Rp15.596 per dolar Amerika Serikat.

Realisasi ekspor perikanan itu baru mencapai 64,65 persen dari target 2022 sebesar USD7,13 miliar. Komoditas utama penyumbang pencapaian ekspor tersebut meliputi udang, tuna-tongkol-cakalang, cumi sotong-gurita, rumput laut, dan rajungan-kepiting dengan total nilai USD3,68 miliar atau tumbuh positif 14,48 persen year on year (yoy).

TB Haeru mengungkapkan, udang yang termasuk dalam sektor perikanan budi daya yang mengalami pertumbuhan ekspor secara terus-menerus.

Presiden Joko Widodo pun sangat perhatian terhadap perkembangan di sektor itu. Presiden Jokowi pun mendorong ekspor komoditas udang bisa mencapai USD4,3 miliar pada 2024. Diketahui, pada 2021 ekspornya baru mencapai USD2,2 miliar.

Optimistis target yang dicanangkan Kepala Negara bisa tercapai, disampaikan oleh TB Haeru. Mengingat, adanya daya topang atas potensi perikanan budi daya yang sangat besar.

“Terutama udang sedang kami dorong betul karena luar biasa targetnya karena masih ada kendala yang masih harus disinergikan dengan pihak lain,” katanya.

Untuk mencapai target produksi udang, dia menyampaikan kebutuhan anggaran Rp365 triliun untuk merevitalisasi tambak udang rakyat dengan sistem tradisional. Berdasarkan data Ditjen Penguatan Daya Saing Produk KKP, sekitar 35 persen dari komoditas yang diekspor merupakan udang dengan mayoritas jenis vaname dan windu.

Mayoritas dari udang tersebut dikirim ke negara tujuan utama, yaitu Amerika Serikat. Sejauh ini, Negeri Paman Sam memang masih menjadi pasar tujuan utama ekspor udang.

Pada 2021, ekspor udang ke Amerika Serikat mencapai USD1,59 miliar dengan volume 180.000 ton. Per September 2022, ekspor udang ke negara itu mencapai USD1,1 miliar dengan volume 118.000 ton.

Sebaliknya, Jepang yang menjadi negara kedua tujuan ekspor Indonesia hingga kuartal III-2022 mampu membukukan nilai USD298 juta dengan volume 28.000 ton. Bila melihat dari sisi neraca perdagangan, perikanan Indonesia mengalami surplus sepanjang Januari–September 2022 sebesar USD4,09 miliar. Nilai ekspor per September 2022 mencapai USD4,61 miliar atau naik 13,72 persen yoy dan impor hanya USD0,52 miliar.

Dalam rangka memacu produksi udang butuh anggaran sebesar Rp365 triliun. Dana sebesar itu, tambah TB Haeru, diprioritaskan guna mengintensifkan budi daya udang.

Dari 300.501 hektare lahan untuk budi daya udang yang tersedia, hanya 9.055 ha lahan yang dikelola secara intensif. Sebaliknya, seluas 43.643 ha lahan dikelola secara semi intensif dan 247.803 ha dikelola secara tradisional.

Bila seluas 247.803 ha area budi daya udang tradisional dibuat klaster setiap 5 hektare dengan biaya Rp7 miliar, dia menghitung kebutuhan dana hampir Rp365 triliun. “Enggak kebayang, APBN KKP hanya Rp6 triliun, jadi kapan sampainya? Enggak mungkin diselesaikan kami sendiri di KKP,” paparnya.

TB Haeru menyatakan, sudah ada pembudidaya udang yang dapat memproduksi 74 ton per ha per siklus. Namun, dia melihat belum semua pertambakan tradisional di Indonesia bisa mengikuti pola itu.

Untuk itu, KKP mencoba merevitalisasi tambak dengan melirik sumber dana dari non-APBN, yakni pinjaman atau hibah luar negeri (PHLN) untuk mencapai target sesuai arahan Presiden Jokowi. “Kami ingin melakukan pengembalian PHLN ini supaya utang ini tidak menjadi persoalan bagi anak cucu kita,” imbuhnya.

Menurut data Food and Agriculture Organization (FAO) 2022, Indonesia menempati posisi kedua dengan volume produksi perikanan tertinggi di dunia pada 2020 dengan total 14,8 juta ton setelah Tiongkok dengan volume produksi 70 juta ton.

Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono menyampaikan bahwa komoditas udang asal Indonesia sangat diminati oleh pasar dunia karena tercatat bahwa permintaan pasar udang global berada di nomor dua setelah salmon. Selama kurun waktu 2015–2020, Indonesia berkontribusi terhadap pemenuhan pasar udang dunia rata-rata sebesar 6,9 persen. Sepanjang 2021, nilai ekspor udang Indonesia USD2,2 miliar atau tertinggi di antara komoditas perikanan lainnya.

Harapannya, komoditas budi daya udang dapat berkontribusi besar pada pertumbuhan ekonomi nasional maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat pembudidaya.

Penulis: Firman Hidranto

Komentar